Kamis, 05 Mei 2011

Kriteria Konservasi Arsitektur









Kriteria konservasi, terdiri dari:

Estetika
Penilaian estetika suatu bangunan tergantung dari perasaan, pikiran, pengaruh lingkungan, dan norma yang bekerja pada diri pengamat. Estetika suatu bangunan biasanya berkaitan erat dengan bagaimana penampilan bangunan itu sendiri secara fisik.

Kejamakan
Kejamakan suatu bangunan dinilai dari seberapa jauh karya arsitektur tersebut mewakili suatu raga atau jenis khusus yang spesifik, mewakili kurun waktu sekurang-kurangnya 50 tahun. Dalam hal ini ragam/langgam spesifik yang ada pada arsitektur bangunan-bangunan bersejarah (Ellisa, 1996) :
  • Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/Art Deco/Gothic/Renaisans/ Romanik.
  • Langgam arsitektur Kolonial tropis (langgam arsitektur Klasik yang telah diadaptasi dengan iklim tropis di Indonesia).
  • Langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu atau daerah lainnya di Indonesia).
  • Langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan Cina, Islam, atau India, atau campuran diantaranya)
Kelangkaan
Kriteria kelangkaan menyangkut jumlah dari jenis bangunan peninggalan sejarah dari langgam tertentu. Tolak ukur kelangkaan yang digunakan adalah bangunan dengan langgam arsitetur yang masih asli yang sesuai dengan asalnya. Yang termasuk kategori langgam arsitektur yang masih asli (Ellisa, 1996).

Contohnya : Langgam arsitektur klasik/kolonial (neoklasik, art deco, art nouvo, gothic, renaissance), langgam arsitektur Cina, langgam arsitektur Melayu, langgam arsitektur India, langgam arsitektur Malaka (Melayu-Cina), langgam arsitektur Islam.

Keistimewaan
Tolak ukur yang digunakan untuk menilai keistimewaan/keluarbiasaan suatu bangunan, yaitu bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu sehingga memberikan kesan monumental, atau merupakan bangunan yang pertama didirikan untuk fungsi tertentu (misalnya Masjid pertama, Gereja pertama, Sekolah pertama, dll).
Kesan monumental pada bangunan juga dapat memberikan keistimewaan sendiri. Kesan monumental itu sendiri tentunya dinilai dari skala monumental yang ada pada suatu bangunan. Skala monumental memiliki pengertian sebagai suatu skala ruang yang besar dengan suatu obyeknya yang mempunyai nilai tertentu, sehingga manusia akan merasakan keagungan dalam ruangan. Dengan melihat bangunan yang memiliki skala monumental diharapkan pengamat akan merasa terkesan (impressed) dan kagum, tetapi bukannya merasa takut karena merasa kecil dan rapuh.

Peranan sejarah
Tolak ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memiliki peranan sejarah, yaitu:
-Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa, merupakan suatu peristiwa sejarah, baik sejarah tersebut merupakan sejarah Kota Bandung, sejarah Nasional, maupun sejarah perkembangan suatu kota.
-Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau tokoh penting.
-Bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa Kolonial.

Memperkuat Kawasan
Tolak ukur yang digunakan adalah bangunan yang menjadi landmark bagi lingkungannya, dimana kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan mutu/kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat memudahkan pengenalan terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi ciri dari suatu landmark antara lain adalah (Lynch, 1992 : 79-83) :
- Bangunan yang terletak disuatu tempat yang strategis dari segi visual, yaitu di persimpangan jalan utama atau pada posisi “tusuk sate” dari suatu pertigaan jalan.
- Bentuknya istimewa karena besarnya, panjangnya, ketinggiannya, atau karena keunikan bentuk.
- Jenis penggunaannya, semakin banyak orang yang menggunakannya maka akan semakin mudah pula pengenalan terhadapnya.
- Sejarah perkembangannya yaitu semakin besar peristiwa sejarah yang terkait terhadapnya maka semakin mudah pula pengenalan terhadapnya.

Contohnya : Stasiun Jakarta Kota
dikenal pula sebagai Stasiun Beos adalah stasiun kereta api yang berusia cukup tua di Kota Tua Jakarta dan ditetapkan oleh Pemerintah Kota sebagai cagar budaya. Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang bertipe terminus (perjalanan akhir), yang tidak memiliki kelanjutan jalur.



Adapun analisis kriteria konservasi terhadap Karaton Surakarta Hadiningrat adalah sebagai berikut :

1. Estetika
bangunan ini memiliki nilai estetika seperti ornamen-ornamen kolonial yang menggunakan struktur baja bentang lebar yang khas.

2. Kejamakan

Bangunan ini hapir keseluruhan berwarna putih, dan jika dilihat dari bentuk, bangunan ini menggunakan langgam antara arsitektur eropa dan arsitektur asia.

3. Kelangkaan

Bangunan ini cukup langka keberadaannya, dikarnakaan perkembangan trend dan budaya setempat. oleh karna itu kita jaga bangunan tua yang ada di sekitar kita agar tidak terlindas dengan kejamnya zaman.

4. Keistimewaan

Bangunan ini sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat jakarta. sejak zaman dahulu bangunan ini menjadi pusat trasportasi baik dalam kota maupun luar kota.

5. Peranan Sejarah


Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, dimana berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.

6. Memperkuat Kawasan


Pemerintah Kota melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993 sebagai cagar budaya.
Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang bertipe terminus (perjalanan akhir), yang tidak memiliki kelanjutan jalur.
Koordinat : 6°08′15″S 106°48′53″E / 6.1375786°LS 106.8146342°BT / -6.1375786; 106.8146342
Keberadaannya pada saat ini diributkan karena hendak direnovasi dengan penambahan ruang komersial. Padahal, stasiun ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, selain bangunannya kuno, stasiun ini merupakan stasiun tujuan terakhir perjalanan. Seperti halnya Stasiun Surabaya Kota atau Stasiun Semut di Surabaya yang merupakan cagar budaya, namun terjadi renovasi yang dinilai kontroversial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar